Jumat, 22 Februari 2013

BARRAU

 Berau yang memiliki wilayah seluas 24.201 kilometer persegi dengan ibu kota Tanjung Redeb dan bisa dijangkau dari ibu kota Provinsi Kalimantan Timur Samarinda dengan jalan darat dalam waktu sekitar 12 jam ini, juga punya wisata kota yang cukup lengkap. Para penggemar peninggalan bersejarah dapat menyusuri masa lalu kota dan kabupaten Berau dengan mengunjungi Keraton dan Museum Sambaliung yang menyimpan jejak-jejak bersejarah peninggalan kerajaan Sambaliung dengan rajanya yang terakhir Sultan M. Aminuddin (1902-1959).
 Tempat ini memiliki koleksi unik yang ada di halaman depan berupa dua tiang kayu ulin berukir aksara asli Suku Bugis yang dipercaya adalah merupakan peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari turunan Bugis Wajo. Menurut penjaga museum, aksara itu berupa aturan-aturan jika rakyat melintasi keraton. 
  Berhadapan dengan Keraton Sambaliung, dibelah oleh Sungai Berau, membujur Keraton Gunung Tabur. Tempat yang bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit melalui jembatan Segah atau tiga menit jika memilih naik ketinting ini, dikenal sebagai menjadi Museum Batiwakkal. Di sini tersimpan sekitar 700 koleksi berharga berupa benda sejarah, keramik, benda arkeologis, etnografis, dan naskah. 
Museum ini dibangun pada 1990 dan diresmikan pada 1992. Para pengunjung juga dapat melihat kediaman Putri Keraton Gunung Tabur. 
Bagi yang ingin menyaksikan perkampungan suku asli Kabupaten Berau, yaitu Suku Banua yang berada di desa Bangun dan Bebanir, silakan berkunjung ke tempat yang berjarak sekitar 10 kilometer dari ibu kota kabupaten. 
Dengan menggunakan kendaraan darat waktu tempuhnya sekitar 15 menit. Kalau mau lebih asyik lagi, lebih baik menggunakan ketinting, karena kita akan dibimbing melalui Sungai Berau dan Sungai Bangun. 
Nah, kampung suku Banua itu berada di Sungai Bangun. Di tempat ini, kita bisa menyaksikan dan kalau mau menikmati kehidupan ala suku Banua yang masih bersahaja.

Asal Usul Penduduk Barrau

Menurut J. Skrom Kontler Berau, dalam Memorie Overgave en Overname 31 Juli 1940, asal Barrau itu adalah sebagai berikut : 
“Penduduk asli Berau dahulu disebut orang Banuwa. Mereka berasal dari keturunan bangsa Melayu yang membuat koloni atau pemukiman beberapa abad lampau. Tidak dapat dipungkiri bahwa dahulu Berau dibawah pengaruh Majapahit". 
DR. Ahmad Ramli sangat tertarik tentang masalah ini mencoba dengan metode bleodgroepbepaling (ketentuan golongan darah). Melalaui cara ini, ia berhasil dan membuat kesimpulan bahwa urang Barrau adalah berasal dari Deutro Melayu-Sumatera (Melayu – Muda – Sumatera).
Memperhatikan bahasa lisan, dalam percakapannya terdapat kata-kata bahasa suku lain, akan tetapi pada umumnya bahasa Barrau itu persamaannya dengan bahasa melayu. 
Walaupun pada beberapa tempat, terjadi percampuran darah dengan orang Bugis, Solok, Basap dan lain-lain, tetapi orang Barrau masih tetap mempertahankan identitas (jati dirinya), terutama raja-raja dan para bangsawan yang asli keturunan Malayu. 
Pada abad ke 7 sampai abad ke XIV kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya. Perdagangan antara Timur – Tengah dengan Negeri Cina melalui Sriwijaya. Pedagang-pedagang Arab, Parsi, India dan Cina, menjadikan Selat Malaka, Pantai Timur Sumatera, Pantai Barat, dan Pantai Timur-Utara Kalimantan sebagai jalur pelayarannya. Banyak bandar-bandar dan kota-kota kecil di pantai Timur Sumatera di pesisir pulau Kalimantan menjadi besar serta kehidupan rakyatnya bertambah makmur. 

Cikal-bakal Kerajaan Berau (Barrau)

Diperkirakan perpindahan Deutro-Melayu-Sumatera itu, pada zaman kerajaan Sriwijaya. Mereka membangun pemukiman baru di daerah Sukadana, Sambas, Berunai, dan Berau berbaur dengan Deutro-Melayu-Kalimantan.
Untuk menjadi lampiran memorie-nya J.S. Krom, meminta bantuan Sultan Sambaliung dan Sutan Gunung Tabur menyusun sejarah Berau. Sebagai pelaksananya dibentuk Tim Penulis terdiri Klerk Lauw. Aji Berni Masuarno juru tulis kelas 1 Datu Ullang putera dari Sultan Amiruddin Sambaliung, Aji Raden Ayub putera dari Sultan H. Siranuddi Gunung Tabur dibantu beberapa magang seperti Abdul Wahab, Adam, Khirul Arip. 
Berdasarkan data-data otentik yang dapat dihimpun dari kedua kerajaan itu serta naskah-naskah tradisional milik perorangan, berhasil disusun sejarah Berau. 
Ringkasannya sebagai berikut : 
Adapun asal mula Nagri Barrau itu terdiri dari lima Banuwa (Nagri) dan dua kampung yaitu :
 
Pertama : Nagri Marancang. 
Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei. 

Kedua : Nagri Kuran kepalanya bernama Tumanggung Macan Nagara.
 
Ketiga : Nagri Bulalung, 
Orang tuanya bernama Angka Yuda, ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kuripan. 

Keempat : Nagri Sawakung di dalam sungai Kelay.
Orang Tuanya bernama Si Patungut gelar Kahar Janggi dan Wakilnya Si Balamman gelar Kahar Pahlawan. Wilayahnya Passut, Bandang dan Maras sampai ke Ulu Kelay.
 
Kelima : Nagri Pantai.
Kepala Nagrinya bernama Rangga Batara. Ia mempunyai seorang puteri yang termasyhur kecerdikannya bernama Si Kannik Barrau Sanipah. Punggawanya Rantai Tumiang, Unjit – Unjit Raja, Panas Karamian dan Ujan Bawari. Wilayah kekuasaannya Buyung-buyung, Semurut, Tabalar, Karang Bassar, Balikkukup, Mataha, Kaniiungan, Talisatan, Dumaring, Batu Putih, Tallauk Sumbang dan Maubar. Perbatasannya dengan Kutai di laut ialah pulau Bira-Biraan Batu Baukir di Tanjung Mangkalihat dan Gunung Bariun di tengah hutan.
 
Keenam : Kampung Bunyut Letaknya di Tanjung Batu, Kepalanya Bernama Jaya Pati, mempunyai seorang anak angkat bernama Dayang Bunyut anak Raja Mangindanao.
 
Ketujuh : Kampung Lati, tempatnya cabang kiri masuk sungai Ulak. Kepalanya Bernama Nini Barituk. Tempat Mereka berkebun di Rantau Petung, sebelah kanan sungai Ulak. Wilayahnya dari Parisau, Sata, Samburakat, Birang, Malinau dan Si Agung.
Ketujuh wilayah itu, masing-masing berdiri sendiri. 

Berau Menjadi Kerajaan

Raja Berau yang pertama ialah Aji Raden Soela Nata Kasoema dan permaisurinya bergelar Aji Poetari Paramaisoeri. Menurut cerita Mitos kelahiran raja laki isteri berbeda dengan kelahiran bayi manusia biasa. 

" Tiga hari berturut-turut anjing Nini Barituk Si Baruang yang bebulu hitam dan Si Langsat yang berbulu merah, menyalak-nyalak dekat rumpun Pattung (sejenis bambu besar) dekat kebunnya di Rantau Pattung di Sungai Ulak. Didekatinya rumpun Pattung itu, dilihatnya disalak anjingnya itu, ialah sebuah rubung pattung yang besar. Dipotongnya rebung itu, lalu dikeratnya ujungnya. Kedengaran tangis seorang bayi laki-laki yang baik parasnya. Di rumah isteri Nini Barituk mendapat pula seorang bayi perempuan yang cantik, di dalam gantang panjahitannya yang berisi kurindan (benang penjahit dari serat nenas).

Peristiwa Nini Barituk mendapat kedua bayi ajaib itu, tersiar ketujuh nagri itu. 
Si Kannik Barrau Sanipah dari Pantai, 
Si Kannik Salundai di Marancang dan 
Si Dayang Bunyut di Kampung Bunyut, 
segera ke Kampung Lati ke rumah Nini Barituk. Ketiga puteri itu, sangat bergembira melihat kedua bayi yang elok parasnya dan damai 
anak laki-laki Baddit Dipatung, 
anak yang perempuan dinamainya Baddit Dikurindan.
 
Kerajaan Bersatu Ke dalam Kerajaan Majapahit 

Berdasarkan data pada atlas Sejarah oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin, Nusantara, Tanah Air Bangsa Indonesia, menurut Para Panca 1365, seluruh Pulau Kalimantan termasuk Berau, Pulau-pulau Solor (Sulu), Mindanao-Selatan adalah masih bersatu dengan Majapahit.
 
Pada halaman 17 dari peta tersebut Berau dinamai BERAYU wilayahnya mulai Tanjung Mangkalihat, Bulungan, Tidung dan Sabah. Luas wilayah kekuasaan kerajaan Berau ini diakui pula oleh ilmuan Belanda H. J. Grizen seperti berikut :
 
“Pada zaman dahulu beberapa Kepala Pemerintahan di daerah Kalimantan Utara Berasal dari Berau sebelum Berau terpecah menjadi dua kerajaan, Bulungan dan Tidung termasuk wilayahnya. Bahkan kerajaan Alas dan Tungku yang sekarang diduduki Inggris, termasuk kawasan Berau.
 
Dengan diilhami oleh “SUMPAH PALAPA” yang dicetuskan Mahapatih Gajah Mada (1319-1964) pada tahun 1334 yang isinya akan mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di seluruh Nusantara dibawah bimbingan Majapahit, 
Aji Surya Nata Kesuma Raja Berau pertama, berhasil menerapkan sumpah itu, mempersatukan tujuh wilayah yang terbentang dari Tanjung Mangkalihat sampai sungai Kinabatangan berbatasan dengan kerajaan Berunai. 

Sumpah PALAPA itu berbunyi : “Namun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, namun huwus kalah ring Gurun ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik Samana ingsun amukti palapa”. (Jika telah berhasil mempersatukan Nusantara, saya akan baru beristirahat jika gurun, “Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah bersatu, baru aku akan beristirahat”).

Menilai dan menghargai perjuangan seperti yang dikemukakan diatas, serat meneliti hasil Tim Pencari Fakta yang terdiri dari 
- Mayor Armyn, 
- Kapten Syahranuddin, 
- Drs. Syahrial Hanan, 
- Mohd. Noor, 
- ARS, Kodam IX Mulawarman, 
berkenan mengabadikannya menjadi KOREM 091/Aji Surya Nata Kesuma yang pertama kali bermarkas di Tarakan pada tahun 1981, sekarang bermarkas di Samarinda. Kebenaran sejarah bahwa Raja Pertama di Kerajaan Berau, adalah Aji Surya Nata Kesuma, diakui pula oleh Pemerintah Propinsi Daerah Kalimantan Timur dalam buku “ Sejarah Pemerintah Di Kalimantan Timur Dari Masa Ke Masa” halaman 91, tahun 1990.

Pada abad ke XIV sampai abad ke XV DR. J. Eisenberger menulis sebagai berikut : 

“Pada beberapa tempat di Kalimantan mengalami kembali pengaruh Hindu, dalam periode ini bercampur dengan Kebudayaan Jawa, berhubung pengaruh tersebut datangnya dari Kerajaan Majapahit. Pada pertengahan abad ke XIV (1365) daerah yang bersatu dengan kerajaan Majapahit yaitu kerajaan kota Waringin, Sampit Kapuas, Banjarmasin (Ibu kotanya Tanjung Pura di Sungai Pawan). Hulu Sungai Mayan di Kalimantan Barat, ditengah-tengah Sukadana, Muara Barito, Tabalong di Amuntai, pulau Sebulu, Pulau Laut, Pasi, Kutai dan Berau.
Daerah taklukan ini, dalam catur wulan pertama abad ke XV lepas dari kekuasaan kerajaan Majapahit. 
Daerah Berau yang dipimpin oleh Aji Surya Nata Kesuma kembali sepenuhnya memerintah kerajaan, lepas dari kerajaan Majapahit. Keutuhan wilayah dapat dipelihara dan dipertahankan oleh turunannya sampai generasi yang kesembilan yaitu Raja Aji Dilayas.
Pada permulaan abad ke XVII, kerajaan Berau, diperintah oleh raja-raja secara bergiliran, 
Turunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati Putera Raja Aji Dilayas yang berlainan ibu. Pada saat menentukan giliran pengangkatan penguasa inilah, terjadi perbedaan pendapat yang tidak jarang menimbulkan insiden. 
Akan tetapi dengan berkat kemauan yang baik dengan jalan musyawarah perselisihan itu dapat diatasi. Tidak ada cerita lisan ataupun tertulis, salah satu pihak meminta bantuan, apalagi intervensi pihak asing untuk menyelesaikan masalah mereka, seperti yang ditulis oleh penulis Barat antara lain Informasi Forster tahun 1770 di dalam buku “Aanteekeningen Omtrent Een Gedeeite Der Oestkust van Borneo door J. Hagemen Joz 1888 halaman 101. 

Hubungan dengan Kerajaan Tetangga

Sultan Hasanuddin putera pangeran Tua kawin dengan Puteri Raja Sulu (Solok) yang bernama Dayang Lana yang melahirkan 5 orang putera dan 4 orang puteri pulang ke Solok, hanya seorang tinggal di Berau yaitu Sultan Amiril Mukminin. 
Cucunya perempuan kawin dengan bangsawan Solok Syarif Dakula. 
Demikian pula turunan Pangeran Dipati, cucunya Sultan Zainal Abidin (Marhum Muara Bangun) kawin dengan Aji Galuh Besar cucu dari Raja Kutai Anum Panji Mendapa Ing Martapura (1710 – 1735).

Hubungan dengan VOC (Kompeni Hindia Timur)

Pada tahun 1671 kompeni pernah mengirimkan pedagang senior Paulus de Beck de Beck dengan Chialloup de Noorman ke Kutai dan ke Berau untuk berusaha mengadakan dagang, tetapi tidak berhasil. 
Sejak didirikannya VOC (1602 – 1799) tidak berhasil menduduki Berau dan para raja-raja kerajaan Berau tidak pernah mengadakan politik kontrak, mengakui dibawah kedaulatan VOC.
Sejak berdirinya kerajaan Berau yang diperkirakan hilangnya kekuasaan Sriwijaya tahun 1377, baik de facto atau de jure tidak pernah mengakui kedaulatan kolonial Belanda atau Inggris sampai tahun 1833.

SILSILAH KERAJAAN BERAU / PENJELASAN

1. Berdasarkan data – data otentik dari : 
• Sejarah Berau disusun oleh Kontler J.S. Krom, Sultan Sambaliung Muhammad Aminuddin, Sultan Gunung Tabur Achmad Maulana. 
• Tim Penulis : Klerk Lauw, Aji Berni Massuarno, Datu Ulang, Aji Raden Ayub dibantu oleh Abdulwahab, Alluh Bachrun, Adam, Chairul Arif, tahun 1939 / 1940.
• Sejarah Berau, milik Museum Mulawarman Tenggarong.
• Hasil Penelitian Tim Pencari Fakta dari Kodam IX Mulawarman 1980 terdiri dari : Mayor Armyn, Kapten Syahranuddin, Drs. Syahrial Hanan, Mohd. Noor. ERS.
• Sejarah Pemerintah di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa oleh Pemda Tk. I KALTIM tahun 1990.

2. Silsilah Raja – Raja Berau, Ketika Kerukunan Dan Keutuhan Wilayah Masih Terpelihara Dengan Baik 

• Raja Berau pertama Baddit Dipattung gelar Aji Surya Nata Kesuma Isterinya Baddit Dikurindan gelar Aji Permaisuri. 
• Aji Nikullam 
• Aji Nikutak
• Aji Nigindang
• Aji Panjang Ruma
• Aji Tumanggung Barani. 
Pada zaman pemerintahan raja Aji Tumanggung Barani ini, mulai diterapkan hukum islam. Didalam Undang-undang kerajaan yang bernama Pamatang Ammas (hukum pidana dan perdata) ditambah satu pasal “Pencuri dipotong tangannya”. 
Menurut “Sejarah Sumatera Barat” yang diterbitkan Depdikbud 1978 halaman 49 bebunyi :“Raja Baginda yang membawa agama islam ke Kalimantan Utara dan Kepulauan Sulu dan mengembangkannya tahun 1390 M”.
• Aji Suraraja
• Aji Surga Balindung 
• Aji Dilayas
 
3. Sengketa Pergantian Raja Berau Terbagi Tiga Kerajaan
Pada permulaan abad ke XVII pergantian raja secara teratur dari ayah kepada anak seperti yang terjadi 9 generasi terdahulu tidak terbagi lagi. 
Masalahnya Aji Dilayas raja ke IX berputera dua orang Pangeran yang berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. 
Sesudah Aji Dilayas mangkat kedua pangeran ini,masing-masing didukung keluarga ibunya bersikeras mau manjadi raja.
Akhirnya keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya,keturunannya berganti-ganti menjadi raja. Pergantian raja secara bergiliran itu adalah sebagai berikut : 
Oleh penulis sejarah tradisional tidak pernah dicantumkan masa tahun pemerintahan raja-raja itu.
• Giliran Pertama
   Pangeran Tua
• Giliran Kedua 
   saudaranya Pangeran Dipati
• Giliran Ketiga 
  Sultan Aji Kuning anak Pangeran Dipati
• Giliran Keempat 
   Sultan Hasanuddin Marhum di Kuran anak dari Pangeran Tua.
• Giliran Kelima 
  Sultan Zainal Abidin kemenakan Sultan Aji Kuning turunan Pangeran Dipati. Menurut Kontler J.S. Krom dalam memorinya, kira-kira tahun 1720 pada pemerintahannya Sultan Zainal Abidin, menrapkan syariat islam di kerajaan Berau. Semasa hidupnya sangat dihormati rakyat. Makamnya dianggap keramat.
• Giliran Keenam 
   Sultan Badaruddin menjadi raja pihak keturunan Pangeran Tua melakukan protes, karena turunan Dipati sudah ongkar perjanjian. Mereka sudah empat kali mendapat giliran menjadi raja, sedang turunan Pangeran Tua baru dua kali. Insiden dapat diatasi, pihak keluarga Pangeran Dipati memberikan kompensasi, sesudah habis masa pemerintahan Sultan Badaruddin turunan Pangeran Tua memperoleh giliran 2 kali berturut-turut menjadi raja.
• Giliran Ketujuh 
  Sultan Salehuddin turunan Pangeran Tua.
• Giliran Kedelapan 
  Sultan Amirilmukminin bin Sultan Hasanuddin turunan Pangeran Tua.
• Giliran Kesembilan
   Si Taddan Raja Tua atau Sultan Zainal Abidin II Putera tertua dari Sultan Badaruddin turunan dari Pangeran Dipati. Beberapa tahun ia memerintah, raja ini ditimpa penyakit cacar yang sangat parah. Ketika sembuh dari penyakitnya itu, ia berbicara seperti orang bisu sehingga perkataannya tidak dapat dipaham. Hasil kesepakatan orang tua-tua kerajaan, raja harus diganti. Pada waktu menentukan giliran siapa diantara turunan kedua pengeran itu akan menggantikan Si Taddan Raja Tua, terjadi kericuan. 

Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri Membentuk Kesultanan Sendiri

Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu menetapkan giliran siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran itu, kekuasaan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara bangun hampir tiada berfungsi lagi. 
Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan Tidung berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.
 
Wilayah Inti Kerajaan Berau Terpecah Dua

Pemerintahan kerajaan Berau terpaksa harus pasrah kasus Bulungan dan Tidung, karena segala tenaga dan pikiran mereka dipusatkan untuk mengatasi kekacauan perebutan kekuasaan antara turunan Pangeran Tua dan Turunan Pangeran Dipati.
Gazi Mahyudin adik Sultan Zainal Abidin II bersikeras menggantikan kakaknya yang sakit-sakitan itu alasannya kakaknya baru beberapa tahun menjadi raja.
Raja Alam Putera Sultan Amiril Mukminin turunan Pangeran Tua, merasa lebih berhak mendapat giliran menjadi raja, alasannya turunan Pangeran Tua baru empat kali. Suasana semakin tegang, yang mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Musyawarah kerajaan dan kedua keluarga Pangeran, karena hampir setiap giliran yang akan menjadi raja, timbul persengketaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup kedua keluarga itu, dapat memutuskan lebih akan bermanfaat wilayah itu dibagi atas kesultanan.
Pertama : 
Sebelah Utara Sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II).
Kedua : 
Sebelah Selatan Sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerjaan Sambaliung di perintah oleh raja Alam (Sultan Alimuddin). Kedudukan Pemerintahan di Muara Bangun dipindahkan. 
Sultan Aji Kuning memilih Gunung Tabur yang terletak di sebelah kanan muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya dan 
Sultan Alimuddin Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampong Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut Tanjoeng. 
Sesuai dengan keputusan Seminar Hari Jadi Kota Tanjung Redeb tahun 1992 peristiwa itu terjadi pada tahun 1810, sepuluh tahun sesudah Bulungan dan Tidung memisahkan diri. 
Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampong Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau.
Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X. 
Setelah kerajaan Berau terbagi dua, kedua kesultanan itu hidup berdampingan secara damai, karena mereka sadar bahwa mereka berasal satu rumpun keluarga besar Aji Surya Nata Kesuma, 
hanya penulis-penulis sejarah Belanda, membesar-besarkan perbedaan pendapat antara kedua kesultanan itu, 
sesuai dengan politik adu domba demi suksesnya penjajahan mereka. 
Hal ini terbukti pada peristiwa sejarah berikutnya.


SAMBALIUNG BERONTAK





Sejak zaman dulu,
jika dalam satu wilayah terdapat dua kerajaan seringkali
tidak pernah akur. Seperti halnya Kerajaan
Gunung Tabur 
dan Kerajaan Sambaliung yang pada dasarnya masih 
mempunyai ikatan darah atau satu keturunan.


BANYAK alasan timbulnya perpecahan dalam kerajaan. 
Salah satunya kalau masuk pihak ketiga yang punya tujuan 
tertentu, sehingga melakukan penghasutan. Misalnya ketika 
Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan 
membeli hasil bumi kerajaan.
Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan 
berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan 
Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan 
Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur 
dan Kerajaan Sambaliung. Kerajaan Gunung Tabur berada 
di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, 
sedang Kerajaan Sambaliung  berada di tepi Sungai Kelay, 
dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan 
ini tak pernah akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki 
oleh Belanda.
Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung 
berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. 
Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar 
dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan 
usaha barang barang keramik dari Cina dan eropa
yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan 
Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil 
ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada 
mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya. 
Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung 
Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu 
berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan 
Gunung Tabur merupakan tempatnya.
Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, 
akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang 
membawa mereka saling serang dan membunuh. 
Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas 
akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba 
dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. 
Saling serang dan saling menghancurkan berjalan 
selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit 
dari kedua belah pihak.                                                                                            
Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering 
terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal 
dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat.  
Namun secara diam-diam pihak Raja Kuning II atau 
Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi 
informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan 
oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. 
Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan 
keterlibatan Sambaliung.
Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut 
adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, 
sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah 
dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak 
Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada 
situasi perang antar kedua kerajaan.
Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut 
dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak 
Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada 
Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur
kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah 
berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh 
Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang 
orang Bugis dan Solok.
Kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu 
Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini 
karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi 
Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang 
pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di 
Tanah Berau. Tetapi walau sudah didukung oleh orang 
orang Bugis dan Solok, pihak Sambaliung kalah 
pengalaman dan senjata melawan orang orang Gunung 
Tabur terlebih karena dibantu Belanda yang bersenjata api.
Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. 
Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan 
pada anak isteri Raja Alam dan melakukan penangkapan 
kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua.
 Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga 
bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya 
Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan
perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda. 
Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa
ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu 
di hutan hutan rimba sungai Kelay.
Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak 
berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam 
tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. 
Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya 
Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda  diputuskan dibuang 
ke Makasar.
Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa 
dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah 
menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa 
kedua tawanan ini ke Makasar. Namun belum lagi sampai 
ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan 
perlawanan pada para pengawal yang membawanya. 
Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam 
akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula 
menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. 
Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula 
kehilangan tiga nyawa serdadunya.  Raja Alam pun terus 
dibawa dan dibuang ke Makassar  Sulawesi Selatan, 
yang juga merupakan markas besar Belanda untuk 
Indonesia Tengah dan Timur.
Usai mengalahkan Sambaliung dan membuang Raja Alam, 
Kekuatan Gunung Tabur yang juga dalam keadaan lemah 
dimamfaatkan Belanda. Entah dengan cara apa Raja Kuning 
II Gunung Tabur dapat dikuasai dan menyatakan tunduk 
di bawah perintah Kerajaan Belanda. Beberapa bangsawan 
yang tak setuju dengan putusan tersebut secara terpisah 
melarikan diri ke berbagai daerah, bahkan ada yang sampai 
bersuaka di kerajaan Sabah Malaysia.
Setelah sekian tahun, Raja Kuning II Gunung Tabur akhirnya 
sadar kalau selama ini mereka secara halus telah dikuasai 
oleh Belanda. Namun karena kekuatan dan kekuasaan
Belanda sudah tak tertandingi, Raja Kuning II tak mampu 
berbuat apa apa.   Karenanya untuk menjaga  agar kerajaan 
tetap utuh, hubungan dengan pihak Belanda tetap dijaga 
dengan segala kepatuhan yang dibuat oleh pihak Belanda.
Suatu ketika Raja Kuning II setelah melakukan perundingan 
dengan keluarga baik bangsawan Gunung Tabur maupun 
sisa-sisa bangsawan Sambaliung yang pada dasarnya 
masih satu keturunan, diputuskan untuk mengembalikan 
Raja Alam ke Sambaliung dengan pengajukan permohonan 
pada pihak Belanda.
Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi 
mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, 
maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau 
memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjaga
 keamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima 
puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada 
di tangan Belanda.
Oleh pihak Belanda permohonan tersebut dikabulkan dan 
pada tanggal 24 September 1837 Raja Alam kembali ke 
Sambaliung bersama pengiringnya. Pertemuan dua 
keluarga Gunung Tabur dan Sambaliung ini terjalin kembali. 
Kemudian atas persetujuan Belanda kedua kerajaan tetap 
saja berdiri sebagaimana asal mula mereka. Namun tentu 
saja harus berada dibawah kekuasaan dan peraturan yang 
diberlakukan oleh pihak Belanda.

Kerajaan Gunung Tabur




Musium Batiwakkal adalah musium yang didedikasikan untuk menyimpan koleksi- koleksi peninggalan Kerajaan Gunung Tabur. Musium terletak di tepi Sungai Segah, di Kota Tanjung Redeb, Kabupaten Berau. Musium ini dulunya adalah Istana Kerajaan Gunung Tabur. Memang bukan bangunan asli, karena saat Jaman Jepang, Istana telah hancur dibom oleh tentara Sekutu. Namun pembangunan ulangnya benarbenar mempertahankan arsitektur dan bahan-bahan seperti istana aslinya.

Koleksi-koleksi ini berasal dari dua putri Sultan terakhir Kerajaan Gunung Tabur. Mengingat bahwa kedua putri tersebut tidak menikah, maka beliau berdua menyerahkan semua koleksi benda-benda kerajaan kepada pemerintah. Sebagai imbalan, Pemerintah memberangkatkan mereka berdua untuk berhaji dan memberikan pensiun berupa biaya hidup. Sampai saat ini kedua putri tersebut tinggal di rumah megah yang dibangun persis disebelah Musium. Total koleksinya konon lebih dari 700 jenis.







Kerajaan Gunung Tabur

Kerajaan Gunung Tabur adalah merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Pada awal abad 19, dua anak Sultan Berau Sultan Muh. Zaenal Abidin, yakni Alimunddin Raja Alam dan Muh. Badaruddin bertikai memperebutkan tahta.
Kesempatan ini dipakai oleh Belanda untuk memecah Kerajaan Berau menjadi dua, yaitu Kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Muh Badaruddin, dan Kerajaan Sambaliung yang dipimpin oleh Sultan Alimuddin Raja Alam. Wilayah kedua kerajaan ini dipisahkan oleh Sungai Segah. Sementara istana keduanya tepat saling berhadapan.




Campur tangan Belanda pada kerajaan Gunung Tabur ini sangat tinggi. Terbukti dari lambang kerajaannya sangat dipengaruhi oleh gaya Eropa. Entah mengapa Kerajaan Gunung Tabur memilih dua macan sebagai simbol kerajaan. Sedangkan di Kalimantan tidak ada harimau. Pastilah ini karena campur tangan Belanda.

Bukan hanya lambang kerajaan. Tetapi kostum Sultan, pedang yang disandang (lihat foto pada bagian foto-foto kuno) dan meriam-meriam (lihat foto-foto pada bagian meriam) menunjukkan betapa Belanda berpengaruh sangat besar kepada Kerajaan Gunung Tabur. Hal ini bisa dimengerti karena wilayah Berau banyak menghasilkan batubara yang dibutuhkan Belanda untuk menjalankan kapal-kapalnya.





Tahta dan Pusaka

Berikut adalah koleksi-koleksi yang berhubungan dengan tahta dan pusaka. Kursi Sultan dan Ibu permaisuri ini memang sudah tidak asli. Tahta yang asli ikut terbakar saat istana dibom oleh Belanda. Tetapi dibuat persis seperti aslinya.






Tahta terdiri dari dua kursi berukir dengan bantalan dari busa berlapis kain kuning. Di samping tahta ada bendera berwarna kuning dengan pedang berwarna merah.

Di depan tahta terdapat meja dengan alas meja berwarna hijau dan perangkat sajian dari kuningan.

Tepat diatas tahta, ada foto Sultan dengan Permaisuri mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Pedang pusaka ini adalah pedang buatan Belanda. Gagangnya terbuat dari gading, sarungnya terbuat dari kulit dengan ujung-ujung sarung terbuat dari emas.





Foto-foto Tua

Di Musium ini juga terdapat beberapa foto tua. Misalnya foto berikut ini dimana Sultan berfoto bersama istrinya yang berasal dari Keraton Surakarta. Konon disain pakaian Sultan dibuat oleh ahli tatabusana dari Italy yang didatangkan oleh Belanda.





Dalam foto berikut ini Sultan berpose bersama istrinya yang dari Keraton Surakarta (sebelah kanan) dan satu istri lainnya yang beretnis Arab.




Sedangkan foto di bawah ini menunjukkan betapa Belanda telah mampu mengumpulkan Sultan-Sultan di Kalimantan Timur.
Konon katanya, kostum yang dikenakan oleh para Sultan ini adalah karya ahli tatabusana dari Italy yang juga mendesain pakaian kebesaran Sultan Gunung Tabur.





Koleksi Meriam

Di Musium ini terdapat banyak sekali meriam. Dua meriam diletakkan di samping kanan dan kiri pintu masuk. Satu meriam pijitan diletakkan di dalam musium. Sementara meriam-meriam lain ditata di kanan kiri bangunan utama musium.

Beberapa dari meriam ini pecah, yang menunjukkan bahwa meriam ini dulunya adalah benar-benar dipakai untuk berperang, dan bukan sekedar untuk pajangan kerajaan










Koleksi Keramik dan alat-alat makan

Rupanya hubungan Kerajaan Berau dengan perdagangan internasional telah terjadi. Terbukti dari banyaknya koleksi keramik China dari Dinasti Song (abad 12-13) dan dari Dinasti Yuan (abad 13-14).




Selain dari keramik China, musium ini juga memiliki koleksi keramik dari Eropa dan Arab (?) dan beberapa alat makan dari Belanda dan Eropa lainnya.





Alat Pembantu Kelahiran

Salah satu koleksi yang tak mungkin anda temui di musium lain adalah alat untuk membantu melahirkan. Alat ini diletakkan di sebelah dipan yang disiapkan untuk ibu yang baru selesai melahirkan. Alat ini dibuat dari biji pohon Paung Janggi (sejenis pohon ulin).

Nah kalau ada perempuan yang sulit melahirkan, maka perempuan tersebut harus minum air yang dituang ke biji tersebut. Maka kelahiran bayi akan menjadi lancar.
Tapi apa alasannya sehingga biji ini dijadikan alat untuk membantu melahirkan?
Ternyata, sebabnya adalah bentuk dari biji ini persis seperti kelamin perempuan!




Kakaban dan Ubur - ubur yang unik

Pernahkah anda membayangkan diri sedang menyelam di antara ratusan bahkan ribuan ubur-ubur ?. Jika anda sering menyelam atau bersnorkelling ria di tepi pantai atau di antara terumbu karang, tentu anda akan spontan menjawab : TIDAK…! .
Saya setuju dengan respon anda. Sengatan ubur-ubur yang menyebabkan rasa gatal dan perih memang seringkali menjengkelkan. Bahkan beberapa jenis diantaranya tidak dapat dipandang sebelah mata karena sengatannya yang mematikan. Akan tetapi, kesan yang berbeda akan anda temukan, jika menyelam di danau Kakaban. Sebuah danau purba yang menjadi sarang bagi ribuan ubur-ubur tak bersengat.
Letak Danau Kakaban
Danau Kakaban terletak di Pulau Kakaban, sebuah pulau kecil tak berpenghuni di pesisir timur Kalimantan. Posisinya sedikit di sebelah utara Tanjung Mangkalihat, tegak lurus ke arah laut lepas dari muara Sungai Berau. Pulau ini memiliki panjang 6 km, lebar 2,5 km, dan  luas 774,20 ha. Sedangkan danau Kakaban memiliki panjang 2,6 km, lebar 1,5 km, luas sekitar 390 ha dengan kedalaman maksimum 11 m. Secara administratif, pulau ini termasuk dalam wilayah kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Bentuk pulau menyerupai angka 6 terbalik dan didominasi oleh dataran karst berbukit kecil dengan lapisan tanah permukaan yang dangkal (<10 cm). Vegetasi yang terdapat di dataran berbukit ini cukup lebat namun secara ekologis tergolong sangat rapuh.

Gambar 1. Posisi Pulau Kakaban (merah). Sumber: Google.com

Gambar 2. Letak Pulau Kakaban (lingkaran merah). Sumber:                     http://www.reefbase.org/ReefGIS/mapper.asp.

Gambar 3. Peta Pulau Kakaban.Sumber: http://www.starfish.ch/Zeichnung/Karten/Kakaban.gif (modified).
Proses Pembentukan Danau Kakaban
Danau Kakaban terbentuk dari sebuah pulau karang berbentuk cincin yang disebut atol. Umumnya, daratan  atol yang muncul ke permukaan laut berukuran sempit dan melingkar. Di tengah atol terdapat semacam kolam berisi air laut yang disebut laguna.
Adanya pergerakan lempeng kulit bumi dan berbagai aktifitas geologi yang kompleks di pesisir timur Kalimantan, menyebabkan karang atol perlahan-lahan mengalami pengangkatan setinggi 40-60 m di atas permukaan laut. Akibatnya, air laut yang berada di tengah atol pun terjebak dan tidak dapat keluar lagi. Terbentuklah sebuah danau yang penampakannya seolah-olah dipeluk oleh daratan yang ada disekelilingnya. Dari penampakan itulah pulau dan danau ini mendapatkan namanya: “Kakaban”. Dalam bahasa daerah setempat “kakaban” berarti “memeluk”.
Menurut Massin dan Tomascik (1996), danau atau laguna yang airnya terjebak dan tidak  memiliki hubungan dengan air dengan laut di sekitarnya (melalui permukaan) seperti Danau Kakaban, tergolong jarang ditemukan di alam. Meskipun terisolir, Danau Kakaban masih tetap mempertahankan karakternya sebagai danau berair asin/payau, sebab di dasar danau terdapat berbagai macam lubang, terowongan, gua atau retakan kecil yang memungkinkan pertukaran air danau dengan lingkungan laut di sekitarnya. Danau Kakaban dideteksi memiliki pasang surut sekitar 11-19 cm. Sedangkan perairan laut di sekitar pulau Kakaban memiliki pasang surut hingga 2,5 – 3 meter (Kott 1995, Tomascik, 1996). Danau yang memiliki ciri seperti diuraikan di atas, oleh Holthuis (1973) digolongkan sebagai danau anchialine.
Tidak semua atol yang mengalami pengangkatan akan bernasib sama seperti Danau Kakaban. Danau Tegano misalnya,yang ada di Pulau Rennell Kepulauan Solomon telah kehilangan sebagian besar ciri-cirinya sebagai danau yang berasal dari laut akibat tidak adanya pertukaran massa air dengan laut di sekitarnya.Salinitas di danau ini hanya 4 psu (permil) saja. Sedangkan Danau Kakaban berkisar antara 24-26 psu (permil). Pasang surut juga tidak ditemukan di Danau Tegano. Salinitas yang rendah kemungkinan menjadi penyebab absennya ubur-ubur dari danau ini. Namun, jenis alga hijau berkapur Halimeda masih dapat ditemukan.
Beberapa atol lain yang mengalami pengangkatan bahkan hanya menyisakan cekungan tak berair, yang menunjukkan pernah eksisnya sebuah danau yang kemudian menjadi kering. Salah satunya dapat ditemukan di Pulau Dana/Laut Sawu (Molengraaff, 1929) yang menjadi salah satu pulau terluar di sisi selatan Indonesia. Danau ini menjadi kering karena minimnya curah hujan dan tidak adanya pertukaran air dengan laut sekitarnya (Tomascik, 1994).
Ubur-Ubur Danau Kakaban
Danau Kakaban memiliki setidaknya empat jenis ubur-ubur, yaitu: Ubur-ubur bulan Aurelia aurita (5-50 cm), ubur ubur totol Mastigias cf papua (1-20 cm), ubur-ubur kotak Tripedalia cystophora (7-10 mm) dan ubur-ubur terbalik Cassiopea ornata (15-20 cm). Ubur-ubur bulan merupakan jenis ubur-ubur terbesar. Tubuhnya dapat dikenali dari warnanya yang putih agak transparan dengan motif daun semanggi di ujung tudungnya. Struktur seperti daun semanggi ini sebenarnya adalah gonad dari ubur-ubur tersebut.

Gambar 4. Spesies Ubur-Ubur Danau Kakaban. A. Ubur-ubur terbalik (upside-down jellyfish) Cassiopea ornata (15-20 cm) B. Ubur-ubur bulan Aurelia aurita (5-50 cm) C. Ubur-ubur totol Mastigias cf papua (1-20 cm) D. Ubur-ubur kotak Tripedalia cystophora (7-10 mm). Sumber Gambar :http://www.art.com/products/p15273713-sa-i3636422/darlyne-a-murawski-upside-down-jellyfish-cassiopeia-ornate-in-a-unique-saltwater-lake.htm, http://www.panoramio.com/photo/1617358, http://abundancesecrets.com/motivational-posters/index.php?item=6015572, http://www.montereybayaquarium.org/animals/AnimalDetails.aspx?id=780784
Ubur-ubur totol (Gambar 4C) merupakan jenis ubur-ubur yang paling banyak jumlahnya di Danau Kakaban. Akibat isolasi selama ribuan tahun, ubur-ubur ini memiliki karakter fisik yang berbeda dengan saudaranya yang hidup di laut. Kurangnya predator menyebabkan kelenjar sengat (nematosit) dari ubur-ubur ini mengalami reduksi sehingga berukuran sangat kecil. Dalam ekosistem danau Kakaban yang nyaris tanpa predator dan memiliki sumber makanan yang melimpah, keberadaan kelenjar sengat tidak diperlukan lagi.
Selain reduksi pada kelenjar sengat, pola totol pada tubuh ubur-ubur di danau Kakaban juga menghilang. Warna tudungnya pun berubah menjadi kemerahan/pink. Demikian pula dengan tentakel yang tereduksi menjadi lebih kecil sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. di bawah ini:

Gambar 5. Akibat isolasi selama ribuan tahun, spesies ubur-ubur totol Mastigias cf papua dari Danau Kakaban (kiri) menunjukkan perubahan morfologi yang drastis dibandingkan dengan saudaranya yang hidup di laut (kanan). Tampak hilangnya motif totol, warna lebih kemerahan/pink dan tentakel yang tereduksi (tanda panah) pada spesies ubur-ubur Kakaban (kiri). Sumber Gambar: http://k41.pbase.com/o4/90/294690/1/61079956.060525derawan156comp.jpg, http://www.oceanwideimages.com/categories.asp?cID=709&p=3
Jenis berikutnya adalah ubur-ubur kotak Tripedalia cystophora (Gambar 4D) yang merupakan spesies ubur-ubur terkecil di Danau Kakaban. Meskipun ukurannya paling kecil, keluarga ubur-ubur ini (kelas Cubozoa) terkenal sebagai kelompok ubur-ubur dengan daya sengat paling mematikan. Namun, sebagaimana jenis ubur-ubur sebelumnya, kelenjar nematosit ubur-ubur kotak telah tereduksi sehingga tidak lagi membahayakan bagi manusia.
Jenis ubur-ubur lainnya yang juga unik adalah ubur-ubur terbalik (upside-down jellyfish) Cassiopea ornata (Gambar 4A). Ubur-ubur ini tergolong hewan bentik yang terspesialisasi hidup di dasar perairan.  Berbeda dengan jenis sebelumnya yang memangsa zooplankton, ubur-ubur terbalik mendapatkan makanan dari zooxanthella yang “bersemayam” di dalam jaringan tubuhnya. Zooxanthella termasuk protozoa berbulu cambuk yang mampu memproduksi makanannya sendiri melalui proses fotosintesis.  Sebagian besar zooxanthella pada ubur ubur ini terkonsentrasi di bagian bawah tudung dan tentakel sehingga untuk memaksimalkan proses fotosintesis,  ubur ubur ini membalik tubuhnya di dasar perairan.
Salah satu pemandangan bawah air yang menyolok dari Danau Kakaban selain ubur-ubur adalah dominannya alga hijau berkapur yang menutupi hampir seluruh dasar perairan. Jenis alga utama adalah Halimeda opuntia forma triloba yang memiliki talus menyerupai trisula dan tumbuh membentuk hamparan hingga setebal 1,5 m. Jenis alga lainnya, Halimeda tuna memiliki talus serupa kipas bersusun-susun. Jenis kedua ini lebih banyak tumbuh di sekitar akar bakau yang banyak tumbuh di tepi danau.

Gambar 6. Alga hijau berkapur dan sponges merupakan pemandangan bawah air yang paling dominan di Danau Kakaban. Tampak seorang penyelam sedang mengamati alga hijau dan sponges yang melekat di akar tunjang bakau. Sumber: http://www.panoramio.com/photo/1617358
Menurut Tomascik (1994), kedua alga berkapur yang ada di Danau Kakaban tergolong alga pembangun terumbu yang tahan terhadap suhu tinggi dan energi arus yang besar, sehingga  kuat dugaan, suhu air danau yang mencapai 31°C menjadi faktor pembatas yang menghalangi tumbuhnya jenis alga lain di danau Kakaban. Kedua jenis alga ini juga diketahui menghasilkan senyawa metabolit sekunder (halimeda-tera-asetat dan halimeda-terial) yang tidak disukai hewan herbivor, sehingga kedua jenis Halimeda tersebut dapat tumbuh maksimal tanpa ada yang mengontrol.
Melimpahnya  jumlah individu dari beberapa spesies di Danau Kakaban menunjukkan adanya faktor pembatas yang menghalangi spesies lain untuk tumbuh dan berkembang. Suhu dan salinitas kemungkinan menjadi faktor pembatas utama yang berpengaruh terhadap populasi berbagai jenis organism di Danau Kakaban.  Hanya spesies yang memiliki daya adaptasi tinggi dan toleransi lingkungan yang besar saja yang mampu bertahan.
Danau Kakaban termasuk ekosistem yang rapuh. Jika hutan di sekeliling danau ditebang, akan terjadi masukan lumpur dan tanah yang akan membuat danau menjadi dangkal. Pendangkalan danau akan menyebabkan suhu air menjadi cepat meningkat saat kemarau. Hal ini sangat berbahaya bagi biota yang ada di dalam danau. Demikian pula jika musim hujan, masukan air tawar yang besar ke dalam danau akan menyebabkan fluktuasi salinitas yang drastis.

Gambar 7. Pemandangan Danau Kakaban. Tampak vegetasi mangrove dan hutan bukit kecil yang tumbuh di sepanjang tepian danau. Sumber: B.W. Hoeksema-Naturalis.
Saat ini Danau Kakaban yang menjadi bagian dari Kepulauan Derawan telah dimasukkan sebagai salah satu daerah Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Berau dan diusulkan sebagai salah satu situs warisan dunia. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Danau Kakaban yang unik dan langka ini pun banyak diminati turis mancanegara.
Berenang di antara ribuan ubur-ubur tak bersengat tentulah menjadi sebuah pengalaman mengesankan yang layak untuk dicoba. Jika anda berkunjung ke danau tersebut, ingatlah untuk tetap menjaga kelestariannya dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat, mematahkan ranting/cabang pohon yang ada atau mengambil dan membunuh hewan yang dijumpai di sepanjang perjalanan. Selamat menikmati pesona Danau Kakaban……

Gambar 8. Berpose di antara ribuan ubur-ubur totol Mastigias cf papua Danau Kakaban (kiri) . Sumber Gambar: http://www.divetime.com/photos/Featured/Caroline_Istas/Jelly_Fish_Lake_5503.html

Gambar 9. Berenang di antara ribuan ubur-ubur Kakaban Sumber Gambar: http://www.waikikitravel.com.sg/Diving/Pictures/JellyfishLake.jpg